BAB I
PENDAHULUAN
Artritis rheumatoid (AR)
adalah penyakit autoimmune yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik dan
progresif, dimana sendi adalah target utama. Manifestasi klinik klasik AR
adalah poliarthritis simetrik yang terutama mengenai sendi-sendi kecil pada tangan
dan kaki. Selain lapisan synovial sendi, AR juga bisa mengenai organ-organ
diluar persendian seperti kulit, jantung, paru-paru, dan mata. Mortalitasnya
meningkat akibat adanya komplikasi kardiovaskular, infeksi, penyakit ginjal,
keganasan, dan adanya komorbiditas. Menegakkan diagnosis dan memulai terapi
sedini mungkin, dapat menurunkan progresifitas penyakit.
Terdapat berbagai prevalensi
kasus AR di daerah di Indonesia. Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah
mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,2% di daerah rural dan 0,3% di daerah
urban. Di poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, kasus baru
AR merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru tahun 2000 dan pada periode Januari
s/d Juni 2007 didapatkan sebanyak 203 kasus AR dari jumlah seluruh kunjungan
sebanyak 1.346 orang (15,1%).
Prevalensi AR lebih banyak
ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan rasio 3:1 dan
dapat terjadi pada semua kelompok umur, dengan angka kejadian tertinggi
didapatkan pada decade keempat dan kelima.
BAB
II
LAPORAN
KASUS
Sesi 1
Wanita 40 tahun, perokok, datang
berobat kepada seorang GP dengan keluhan nyeri pangkal jari-jari tangan.
Pada anamnesis dan pemeriksaan
selanjutnya, sendi yang nyeri dan bengkak, serta kemerahan, teraba hangat, pada kedua tangan di metacarpophalangeal .
pasien sedang minum obat-obat tbc dalam
6 bulan ini.
Sesi 2
Pada pemeriksaan lebih lanjut,
ternyata pagi hari sendi-sendi pangkal jari tangan kiri dan kanan kaku lebih
dari ! jam. Rupanya keluhan tersebut telah berlangsung sekitar 2 bulan. Pasien
sudah minum obat-obat “rematik” sendiri.
Pemeriksaan laboratorium
memperlihatkan asam urat 9 mg/dL dan RF (-)
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1
IDENTIFIKASI PASIEN
Nama :
X
Umur :
40 tahun
Jenis
kelamin :
Perempuan
Status perkawinan : -
Alamat : -
Agama : -
3.2 ANAMNESIS
Keluhan
utama :
Nyeri pangkal jari-jari tangan
Riwayat
penyakit sekarang :
-
Riwayat
penyakit dahulu : -
Riwayat hidup dan kebiasaan : perokok, sedang
minum obat-obat tbc dalam 6 bulan ini, sudah minum obat-obat rematik sendiri.
Anamnesis
tambahan yang diperlukan, sebagai berikut:
·
Kapan nyeri terjadi ?
Ini
untuk mengindikasikan apakah pasien sakit reumatoid artritis, osteoartritis ataukah
gout, karena pada ketiga penyakit tersebut memiliki sifat nyeri yang berbeda
dimana reumatoid artritis lebih sering terjadi pada pagi hari sedangkan pada
osteoartritis terjadi setelah melakukan suatu aktivitas tertentu dan gout lebih
sering terjadi pada sore hari tanpa didahului oleh aktivitas tertentu.
·
Pada saat nyeri berlangsung, apakah
daerah nyeri tampak bengkak, hangat dan merah atau tidak ?
Hal
ini dapat mengindikasikan bahwa jika pada daerah nyeri tampak bengkak, hangat
dan merah ini menandakan bahwa adanya inflamasi. Dan inflamasi dapat terjadi
pada reumatoid artritis dan gout.
·
Sejak kapan rasa nyeri dirasakan ?
Hal
ini untuk mengindikasikan perjalanan penyakit antara akut ataukah kronis.
·
Selain nyeri di metacarpophalangeal
dimana lagi nyeri tersebut terjadi ?
Jika
meluas ke sendi-sendi besar
hal ini mengindikasikan kepada osteoartritis
·
Nyerinya pada kanan atau kiri saja apa
kanan kiri ?
Jika
nyeri simetris biasanya terjadi pada reumatoid artritis sedangkan jika
asimetris kemungkinannya osteoartritis dan gout.
3.3
PEMERIKSAAN
FISIK
Suhu : -
Denyut
Nadi : -
Tekanan
Darah : -
Pernapasan : -
Keluhan
Utama : Nyeri pangkal jari –
jari tangan
Keluhan
Tambahan : Sendi nyeri dan bengkak.
Kemerahan dan teraba hangat pada kedua tangan di metacarpophalangeal.
3.4 PEMERIKSAAN
PENUNJANG
Pemeriksaan
penunjang yang bisa digunakan sebagai berikut:
·
Faktor
reumatoid
Hasilnya negatif pada
30% penderita AR stadium dini. Jika pemeriksaan awal negatif dapat diulang
setelah 6-12 bulan dari onset penyakit. Bisa memberikan hasil positif pada
beberapap penyakit seperti ; SLE ,sklerodema, penyakit keganasan,sarkoidosis,
infeksi (virus,parasit atau bakteri)
·
Laju
endap darah
Sering meningkat >30
mm/jam, bisa digunakan untuk memonitor perjalan penyakit
·
C-reactive
protein
Umumnya meningkat
sampai . 0,7 picogram/mL. Bisa digunakan untuk memonitor perjalanan penyakit
·
Foto
polos (plain radiograph)
Terlihat adanya
osteopenia atau erosi dekat celah sendi pada stadium dini penyakit. Foto
pergelangan tangan dan pergelangan kaki penting untuk data dasar,sebagai
pembanding dalam penelitian selanjutnya.
·
MRI
(Magnetic Resonance Imaging)
Mampu mendeteksi adanya
erosi sendi lebih awal dibandingkan
dengan foto polos, tampilan struktur sendi lebih rinci
·
Pemeriksaan cairan sendi
Dilakukan jika diagnosa
meragukan . pada AR tidak ditemukan kristal kultur negatif dan kadar glukosit
rendah.
Sedangkan pada pasien didapatkan hasil sebagai berikut:
·
Hb
12 g%.
Nilai normal Hb
pada wanita dewasa adalah 11,5 - 16,5 g/dl). Maka, kadar Hb pada pasien ini
masih dalam batas normal.
·
Kadar
Leukosit 7500/mm3.
Nilai normal
leukosit adalah 5000 - 10000/mm3. Maka, kadar leukosit pada pasien
ini masih dalam batas normal.
·
LED
25 mm/jam.Nilai normal LED untuk wanita dewasa :
-westergren à <15 mm/jam
-wintrobe
à <20 mm/jam
Menurut
ICSH ( international commitee for standarization in hematology) yg dianjurkan
untuk pemeriksaan hematologi adalah westergren. Kadar LED pada pasien ini
meningkat diakibatkan penyakit kronis yang dideritanya, yaitu penyakit kronis
TBC yang diakibatkan oleh kebiasaan merokok pada pasien. Sedangkan untuk
penyakit RA itu sendiri masih pada stadium awal atau stadium dini karena hasil
RF pasien (-).
·
Differential count : 0/2/2/70/20/6. Secara keseluruhan
nilai basofil, eosinofil, neutrofil batang, neutrofil segmen, limfosit, dan
monosit adalah normal pada pasien ini.
3.4
DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis kerja dapat di tegakkan berdasarkan kriteria
:
Pada awalnya American
College of Rheumatology
mendefinisikan criteria sebagai acuan untuk menegakkan diagnosis RA, tetapi
pada tahun 2010 dilakukan revisi terhadap criteria tersebut.
American
College of Rheumatology telah didefinisikan (1987) kriteria berikut untuk
klasifikasi Rheumatoid Arthritis:
Pagi
kekakuan> 1 jam setiap pagi selama minimal 6 minggu.
1. Arthritis
dan jaringan lunak pembengkakan> 3 dari 14 sendi / kelompok bersama, hadir
selama minimal 6 minggu
2. Arthritis
sendi tangan (metacarpophalanx dan proximal interphalanx) ,
hadir selama minimal 6 minggu
3. Symmetric
arthritis, hadir selama minimal 6 minggu
4. Nodul
subkutan di tempat-tempat tertentu
5. Rheumatoid
Faktor pada tingkat di atas persentil ke-95
6. Radiologi
sugestif erosi sendi perubahan
Setidaknya
empat kriteria yang harus dipenuhi untuk klasifikasi sebagai RA. Kriteria ini
tidak dimaksudkan untuk diagnosis klinis untuk perawatan rutin namun ditujukan
untuk mengkategorikan penelitian.3
The 2010 ACR-EULAR classification
criteria for rheumatoid arthritis
|
Score
|
Target population (Who
should be tested?): Patients who
|
|
Classification
criteria for RA (score-based algorithm: add score of categories A–D;
a score of ≥6/10 is needed for classification of a patient as having definite RA)‡ |
|
0
|
|
2-10
large joints
|
1
|
2
|
|
4-10
small joints (with or without involvement of large joints)
|
3
|
5
|
|
Negative
RF and negative ACPA
|
0
|
Low-positive
RF or low-positive ACPA
|
2
|
High-positive
RF or high-positive ACPA
|
3
|
Normal
CRP and normal ESR
|
0
|
Abnormal
CRP or abnormal ESR
|
1
|
<6
weeks
|
0
|
≥6
weeks
|
1
|
*
Kriteria tersebut ditujukan untuk klasifikasi pasien yang baru. Selain itu,
pasien dengan penyakit erosif khas rheumatoid arthritis (RA) dengan sejarah
yang kompatibel dengan pemenuhan sebelumnya dari kriteria 2010 diklasifikasi sebagai
pengidap penyakit RA. Pasien dengan penyakit menetap, termasuk mereka yang
penyakitnya tidak aktif (dengan atau tanpa pengobatan) yang berdasarkan data
retrospektif, sebelumnya telah memenuhi kriteria tahun 2010 harus
diklasifikasikan sebagai memiliki RA.
† Diagnosa
Diferensial bervariasi antara pasien dengan presentasi yang berbeda, dapat mencakup kondisi seperti SLE, arthritis
psoriasis, dan asam urat. Jika
tidak jelas tentang diagnosa diferensial yang
relevan untuk dipertimbangkan, harus
dikonsultasikan harus dikonsultasikan kepada ahli rheumatologist.
‡
Walaupun pasien dengan skor <6/10 tidak diklasifikasikan
sebagai memiliki RA, status mereka dapat ditinjau
kembali dan kriteria dapat
dipenuhi secara kumulatif dari waktu ke waktu.
§
Sendi yang terlibat mengacu pada setiap sendi yang bengkak atau sendi tender
pada pemeriksaan yang dapat dilihat dengan gambar sinovitis. Sendi
interphalangeal distal, sendi carpometacarpal pertama, dan sendi
metatarsophalangeal pertama dikecualikan dari penilaian. Kategori distribusi
gabungan diklasifikasikan sesuai dengan lokasi dan jumlah sendi yang terlibat,
dengan penempatan ke dalam kategori tertinggi yang mungkin didasarkan pada pola
keterlibatan sendi.
¶
“Sendi besar” mengacu kepada sendi bahu, sendi panggul, sendi lutut, dan sendi
pergelangan kaki.
# “Sendi kecil” mengacu kepada sendi
metacarpophalangeal, sendi interphalangeal proximal, sendi metatarsophalangeal kedua sampai kelima,
sendi ibu jari interphalangeal,
dan sendi pergelangan tangan.
**
Dalam kategori ini, setidaknya 1 dari sendi yang terlibat berupa sendi kecil,
sendi lainnya dapat mencakup kombinasi dari sendi besar dan tambahan sendi
kecil, serta sendi lain tidak secara khusus tercantum di tempat lain (misalnya,
temporomandibular, acromioclavicular, sternoklavikularis , dll).
†
† negatif mengacu pada nilai-nilai IU yang kurang dari atau sama dengan batas
atas normal (ULN) untuk uji laboratorium dan assay, low-positif mengacu pada
nilai-nilai IU yang lebih tinggi dari ULN tetapi ≤ 3 kali ULN untuk uji
laboratorium dan assay, high-positif mengacu pada nilai-nilai IU yang> 3
kali ULN untuk uji laboratorium dan assay. Dimana Informasi faktor rheumatoid
(RF) hanya tersedia positif atau negatif, hasil positif harus mencetak low-positif
untuk RF. ACPA = anti-citrullinated protein antibodi.
‡
‡ Normal / abnormal ditentukan oleh standar laboratorium lokal. CRP =
C-reactive protein, ESR = laju endap darah.
§
§ Durasi gejala mengacu pada laporan-diri pasien durasi tanda-tanda atau gejala
sinovitis (misalnya nyeri, pembengkakan, tender) sendi yang terlibat pada saat
penilaian klinis, terlepas dari status pengobatan.
3.5
DIAGNOSIS BANDING
·
Osteo arthritis
·
Gout arthritis
·
Polimialgia
reumatik
3.6
PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dari penatalaksanan
pada Atritis Reumatoid adalah:
-
Untuk
menghilangkan nyeri dan peradangan
-
Untuk
mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari penderita
-
Untuk
mencegah dan atau memperbaiki deformitas yang terjadi pada sendi
-
Mempertahankan
kemandirian sehingga tidak bergantung pada orang lain.
Adapun penatalaksanaan
yang dapat dilakukan pada pasien ini adalah:
Asimptomatik:
-
Memberikan
pendidikan yang cukup tentang penyakit kepada penderita, keluarganya dan siapa
saja yang berhubungan dengan penderita.
-
Istirahat
merupakan hal
penting karena reumatik biasanya disertai
rasa lelah yang hebat.
-
Latihan Fisik dan Termoterapi
Latihan spesifik
dapat bermanfaat dalam mempertahankan fungsi sendi.
Simptomatik
:
Pemberian obat adalah bagian yang penting dari
seluruh program penatalaksanaan penyakit reumatik. Pemberian OAINS
digunakan sebagai terapi awal untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan.
Prednison (glukokortikosteroid) kurang dari 10 mg per hari cukup efektif untuk
meredakan gejala dan dapat memperlambat kerusakan sendi. Atau pemakaian
obat-obatan golongan DMARD, seperti leflunomide, infliximab, dan etanercept.
Sulfasalazin atau hidrosiklorokuin atau klorokuin fosfat sering digunakan
sebagai terapi awal, tetapi pada kasus yang lebih berat, MTX atau kombinasi
terapi mungkin digunakan sebagai terapi lini pertama.
3.7
PROGNOSIS
Ad vitam : ad
bonam
Karena
pada penyakit rheumatoid
artritis
tidak merusak organ-organ vital yang menyebabkan kematian.
Ad
fungsionam : dubia ad bonam
Karena hasil reumatoid faktornya masih negatif dan belum ditemukan
tanda-tanda destruksi tulang, kartilago, fibrosis dan belum Ada komplikasi yang
timbul akibat ra Nya pada pasien ini.
Ad sanationam : dubia ad bonam
Karena
kemungkinan penyebab Utama pada kasus ini adalah penyakit TBC yang mencetuskan terjadinya rheumatoid artritis, apabila penyakit
tbcnya diberikan terapi secara adekuat dan pasien menjaga Gaya hidup yang
sehat maka kemungkinan rekurensi dari
penyakit tbc sebagai penyebab ra pada kasus ini dapat dicegah.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1
AUTOIMUNITAS
4.11
Definisi
1.
Autoimunitas
didefiniskan sebagai respon imun yang melawan antigen diri. Faktor-faktor yang
berperan dalam mengembangkan autoimunitas adalah kerentanan gen dan lingkungan,
seperti infeksi.2
4.12
Penyakit
Autoimun
Penyakit autoimun terdiri dari dua golongan,
yaitu :
1. Khas organ (organ specific) dengan pembentukan
antibodi pada organ spesifik; contoh : Thiroiditis, dengan auto-antibodi
terhadap tiroid; Diabetes Mellitus, dengan auto-antibodi terhadap pankreas;
sclerosis multiple, dengan auto-antibodi terhadap susunan saraf; penyakit
radang usus, dengan auto-antibodi terhadap usus.
2. Bukan khas organ (non-organ specific), dengan
pembentukan auto antibodi yang tidak terbatas pada satu organ.
Contoh : Systemic lupus erythemathosus (SLE),
arthritis rheumatoid, vaskulitis sistemik dan scleroderma, dengan auto-antibodi
terhadap berbagai organ.
4.2 KASUS RHEUMATIK
Ada 4 jenis kasus rheumatic yang sering terjadi yaitu
:
-
Reumathoid Arthritis
Penyakit
yang tersebar luas serta melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia.
Penyakit ini merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya
sinovitis erosive simetrik yang walaupun mengenai jaringan persendian, sering
kali juga melibatkan organ tubuh lainnya.1
-
Gout arthritis
Penyakit
yang sering tersebar di seluruh dunia. Gout arthritis merupakan kelompok
penyakit heterogen sebagai akibat deposisi Kristal monosodium urat pada
jaringan atau akibat super saturasi asam urat di dalam cairan ekstra seluler.2
-
Osteo arthritis
Penyakit
sendi degenerative yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Vertebra,
panggul, lutut, dan pergelangan kaki paling sering terkena OA.3
-
Polimialgia reumatik
Penyakit
ini merupakan suatu sindrom yang terdiri dari rasa nyeri dan kekakuan yang
terutama menyerang ekstremitas proximal, leher,
bahu, dan panggul. Terutama mengenai usia pertengahan atau lanjut usia,
sekitar 50 tahun ke atas.
4.3
ARTRITIS REUMATOID
Arthritis Reumatoid
adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik dam
progresif, dimana sendi merupakan target utama. Etiologi penyakit ini tidak
diketahui secara pasti tapi ada beberapa factor yang dianggap mencetuskan
penyakit ini yaitu factor genetic, hormone sex, protein heat shock(HSP) dan
beberapa factor resiko.
a.
Factor
genetic
Terdapat interaksi yang kompleks antara factor genetic dan lingkungan.
Factor grnrtic berperan penting terhadap kejadian AR, dengan angka kepekaan dan
ekspresi penyakit sebesar 60%. Hubungan gen HLA-DRB1 dengan kejadian AR telah
diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non-HLA juga berhubungan dengan
AR seperti daerah 18q21 dari gen TNFRSR11A yang mengkode activator reseptor nuclear factor kappa B. gen ini berperan
penting dalam resorpsi tulang pada AR.
b.
Hormone
sex
Prevalensi AR lebih besar pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki,
sehingga diduga hormone sex berperanan dalam perkembangan penyakit ini.
c.
Protein
heat shock (HSP)
HSP adalah keluarga protein yang di produksi oleh sel pada semua spesies
sebagai respon homolog terhadap stress. Protein ini mengandung untaian asam
amino. HSP tertentu manusia dan HSP mikobaktrium tuberculosis mempunyai 65%
untaian yang homolog. Hipotesisnya adalah antibody dan sel T mengenali epitop
HSP pada agen infeksi dan sel host. Hal ini memfasilitasi reaksi silang
limfosit dengan sel host sehingga mencetuskan reaksi kemiripan molekul (molecular mimicry).
d.
Factor
resiko
Factor resiko yang berhubungan dengan peningkatan terjadinya AR antara
lain jenis kelamin perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita AR, umur
lebih tua, paparan salisilat dan merokok, sering mengonsumsi kopi decaffeinated.
4.4. PATOGENESIS
· Patogenesis
Arthritis rheumatoid adalah penyakit peradangan kronik yang menyebabkan degenerasi jaringan ikat. Peradangan (inflamasi) pada AR terjadi secara terus-menerus terutama pada organ sinovium dan menyebar ke struktur sendi di sekitarnya seperti tulang rawan, kapsul fibrosa sendi, ligamen dan tendon. Inflamasi ditandai dengan penimbunan sel darah putih, pengaktifan komplemen, fagositosis ekstensif dan pembentukan jaringan granular. Inflamasi kronik menyebabkan hipertropi dan penebalan pada membran sinovium, terjadi hambatan aliran darah dan nekrosis sel dan inflamasi berlanjut
Inflamasi menyebabkan pelepasan
berbagai protein sitokin. Sitokin memiliki fungsi antara lain memelihara
keseimbangan tubuh selama terjadi respon imun, infeksi, kerusakan, perbaikan
jaringan, membersihkan jaringan mati, darah yang membeku dan proses penyembuhan.
Jika produksi sitokin meningkat, kelebihan sitokin dapat menyebabkan kerusakan
yang serius pada sendi saat inflamasi AR. Sitokin yang berperan penting pada AR
antara lain adalah IL-1, IL-6, TNF-α dan NO. Nitrit oksida, diketahui dapat
menyebabkan kerusakan sendi dan berbagai manifestasi sistemik
Leukosit adalah bagian sistem imun
tubuh yang secara normal dibawa ke sinovium dan menyebabkan reaksi inflamasi
atau sinoviositis saat antigen berkenalan dengan sistem imun. Elemen-elemen
sistem imun (gambar 1) dibawa ke tempat antigen, melalui peningkatan suplai
darah (hiperemi) dan permeabilias kapiler endotel, sehingga aliran darah yang
menuju ke lokasi antigen lebih banyak membawa makrofag dan sel imun lain.
Saat inflamasi leukosit berfungsi menstimulasi produksi molekul
leukotriens, prostaglandin (membuka pembuluh darah dan meningkatkan aliran
darah) dan NO (gas yang berperan dalam fleksibilitas dan dilatasi pembuluh
darah, dalam jumlah yang tinggi merupakan substansi yang berperan besar pada
berbagai kerusakan AR) (Visioli
2002).
Peningkatan permeabilitas vaskular
lokal menyebabkan anafilatoksin (C3, C5). Local vascular pada endotel
melepas NO dengan vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas vaskular, ekspresi
molekul adhesi pada endothel, pembuluh darah, ekspresi molekul MHC kelas II dan
infiltrasi sel neutrofil dan makrofag
(Sumber: Arthritis research & therapy,2007)

Gambar 1. Mekanisme inflamasi yang terlibat dalam proses AR
Gambar 1. Mekanisme inflamasi yang terlibat dalam proses AR
Inflamasi sinovial dapat terjadi
pada pembuluh darah, yang menyebabkan hiperplasia sel endotel pembuluh darah
kecil, fibrin, platelet dan inflamasi sel yang dapat menurunkan aktivitas
vaskuler pada jaringan sinovial. Hal ini menyebabkan gangguan sirkulasi darah
dan berakibat pada peningkatan metabolisme yang memacu terjadinya hipertropi
(bengkak) dan hiperplasia (membesar) dan sel dalam keadaan hipoksia (gambar 2).
Sel yang hipoksia dalam sinovium berkembang menjadi edema dan menyebabkan
multiplikasi sel sinovial. Sel pada sinovium tumbuh dan membelah secara
abnormal, membuat lapisan sinovium menebal, sehingga sendi membesar dan bengkak
(Sumber: Arthritis research & therapy,2007)
Gambar 2. Perbandingan sel normal
dan kondisi hipoksia
Berkembangnya fase penyakit,
ditunjukkan dengan penebalan synovial membentuk jaringan yang disebut panus.
Panus adalah lembaran/lapisan yang menebal membentuk granulasi. Panus dapat
menyebar ke dalam sinovium sendi dan bersifat destrukstif terhadap elemen sendi).
Interaksi antara antibodi dan antigen menyebabkan perubahan
komposisi cairan sinovial, cairan sinovial kurang mampu mempertahankan fungsi
normal dan bersifat agresif-destruktif. Respons dari perubahan dalam sinovium
dan cairan sinovial, menyebabkan kerusakan sejumlah besar sendi dan jaringan
lunak secara bertahap berdasarkan fase perkembangan penyakit (tabel 1)
Destruksi yang terjadi pada tulang
menyebabkan kelemahan tendon dan ligamen, perubahan struktur tulang dan
deformitas sendi sehingga mempengaruhi aktivitas harian dan menghilangkan
fungsi normal sendi. Destruksi dapat terjadi oleh serangan panus (proliferasi
sel pada lining sinovial) ke subkodral tulang. Destruksi tulang menyebabkan
area hialin kartilago dan lining synovial tidak dapat menutupi tulang,
sendi dan jaringan lunak.
Tahap lebih lanjut, terjadi
kehilangan struktur artikular kartilago dan menghasilkan instabilitas terhadap
fungsi penekanan sendi, menyebabkan aktivitas otot tertekan oleh destruksi
tulang, lebih jauh menyebabkan perubahan struktur dan fungsi sendi yang
bersifat ireversibel dan dapat terjadi perubahan degeneratif terutama pada
densitas sendi. Destruksi dapat menyebabkan terbatasnya pergerakan sendi secara
signifikan, ditandai dengan ketidak stabilan sendi.
BAB
V
KESIMPULAN
Pada
kasus pasien wanita ini, keluhan nyeri pada persendian jari-jari tangannya yang
disertai pembengkakan dan inflamasi menunjukkan gejala rematik, yang mengacu
kepada Reumathoid Artritis. Hal ini didukung oleh hasil pemeriksaan
laboratorium yang menunjukkan sejumlah indicator Reumathoid Artritis, walaupun
skor berdasarkan klasifikasi ACR-EULAR 2010 belum menunjukkan angka 6. Gejala
reumatik yang ditimbulkan lebih dikarenakan adanya pemicu berupa infeksi
bakteri tuberculosis, sehingga tatalaksana pada pasien ini adalah bersifat
simtomatik untuk menyembuhkan tuberkulosisnya serta gejala nyeri, namun tidak
diberikan TNF blocker karena mengurangi daya opsonisasi pada pathogen tuberculosis.
BAB
VI
DAFTAR
PUSTAKA
Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu penyakit
dalam. In: Suarjana I.N. Artritis Reumatoid. Edisi ke-5. Jakarta: Internal
Publishing; 2009. P. 2495-2513.
American College of Rheumatology.
1987 Criteria for the Classification of Acute Arthritis of Rheumatoid
Arthritis. Diunduh dari: http://www.rheumatology.org. Diakses 23 september 2012
American College of Rheumatology. The 2010 ACR-EULAR classification
criteria for rheumatoid arthritis. Diunduh dari: http://www.rheumatology.org. Diakses 23 september 2012
Daud
R. Artritis rheumatoid. Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati
S, editors. In: Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.p. 1174.
Daud
R. Artritis rheumatoid. Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati
S, editors. In: Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.p. 1208.
Daud
R. Artritis rheumatoid. Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati
S, editors. In: Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.p. 1195.
Abbas KA, Lichtman AH. Basic Immunology.
2nd ed. Philadelphia: Independences Square West; 2004. p. 182.
Helbert
M. Flesh and Bones of Immunology. Elseiver’s Health Sciences Right Departement;
2006. p. 82
Tidak ada komentar:
Posting Komentar